Selasa, 13 Juli 2010

Habis Piala Dunia Rakyat Afrika Terancam Xenofobia


Tak ada lagi sorak-sorai suporter. Tak terdengar lagi lengkingan suara vuvuzela. Namun, setelah lelah menggelar Piala Dunia 2010 selama sebulan, kini pemerintah dan masyarkat Afrika Selatan (Afsel) dipusingkan oleh isu dan ancaman xenofobia. Sebab, gejalanya sudah mulai muncul, hingga mulai meresahkan.

Xenofobia adalah kebencian dan kecemburuan kepada orang asing. Aksi kekerasan karena hal seperti ini sudah sering terjadi di Afsel sejak 2000 dan memakan korban tewas dan luka. Bahkan, pada Maret 2008 saja ada 62 orang tewas karena diserang massa yang terjangkit xenopobia.

Selama Piala Dunia 2010, juga muncul isu akan ada aksi serupa setelah final Piala Dunia, tepatnya pada 12 Juli. Gejala itu mulai muncul di Khayelietsha, wilayah kulit hitam di Cape Town. Selain terjadi pada 8 Juli, aksi teror kembali terjadi pada Senin (12/7/2010).

Sekelompok orang melakukan teror kepada masyarakat Khayelitsha. Bahkan, beberapa pedagang asal Zimbabwe, Mozambik, Nigeria, Somalia, dan negara Afrika lainnya takut membuka dagangannya.

Menurut Pretoria News, sekelompok orang melakukan ancaman dan teror kepada para pendatang itu. Mereka sempat merampas barang-barang di toko pendatang dan meneriakkan ancaman dan kecaman.

"Mereka mengancam dan merampas barang kami.
Mereka menyebut kami mwakwerekwere dan meminta kami harus pergi. Katanya, tak ada tempat buat para pendatang," kata Ali Mohamed Husein asal Somalia, seperti dikutip Pretoria News.

Sebagian pendatang terpaksa tinggal di kantor polisi di Cape Town, karena takut pulang. Pemerintah Afsel segera bertindak bahkan sudah mengirim Menteri Kepolisian Nathi Mthethwa dan Menteri Pertahanan Mindile Sisulu ke cape Town. Mereka berjanji akan mencegah aksi xenofobia dengan sekuat tenaga. Bahkan, tentara juga aka disiagakan.

Sementara itu di Johannesburg dan Pretoria, beberapa masyarakat pendatang mengaku belum menerima ancaman atau teror apa pun. Mereka juga tak takut, karena percaya pemerintah akan melakukan tindakan tegas untuk mencegahnya dan melindungi semua warga, termasuk pendatang.

"saya mau ke mana lagi? Sebenarnya juga khawatir dengan adanya isu xenofobia, tapi saya sudah menetap di sini. Apa yang akan terjadi biar terjadi. Tapi, saya yakin kepada pemerintah," kata Freedom asal Zimbabwe yang menjadi pedagang kerajinan di pasar tradisional Bruma, Johannesburg.

"Saya tak bisa pulang, karena negara kami sendiri dalam keadaan kacau dan di tangan diktator. Mungkin kalau Presiden Robert Mugabe sudah meninggal, saya baru berpikir pulang," tambah Jerome.

Hal sama dikatakan Catrine dari Kenya. Wanita pedagang kerajinan di pasar Bruma ini juga pilih tetap tinggal di Johannesburg dan mencoba tenang.

"Saya tak takut lagi kepada xenofobia. Saya kira pemerintah akan mengatasinya," ujarnya.

Sementara Idris dari Nigeria, juga berharap pemerintah serius mengatasi xenopobia. Sebab, ini sudah meresahkan dan bisa memperburuk situasi negara.

"Afsel sudah membuat citra bagus di mata internasional karena Piala Dunia 2010. Maka, saya kira pemerintah akan berbuat sekuat tenaga untuk mencegah dan mengatasi setiap gerakan yang merusak citra itu, termasuk aksi xenofobia. Oh, bung, xenopobia sangat menakutkan. Saya harap tak terjadi lagi," ujar Idris, pegawai di sebuah gerai seluler di Menlyn Plaza.

Sejauh ini, pemerintah Afsel melihat gerakan xenofobia sengaja diembuskan kelompok kriminal. Mereka mencoba mengambil keuntungan dari ketakutan pendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar