Rabu, 05 Oktober 2011

Bagaimana Taubat dari Ghibah?

Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Madarijus Salikin telah merinci perbuatan seoramg muslim yang mengghibah saudaranya sesama muslim, atau menuduhnya telah berbuat zina, apakah dia harus memberitahukan (kepada orang yang menjadi korban) tentang ghibah, namimah (adu domba), atau tuduhan palsu yang ia lakukan, agar ia terbebas dari akibat buruk perbuatannya? Ataukah ia hanya cukup bertaubat tanpa memberitahukan perbuatannya itu?

Maka beliau menyebutkan dua pendapat:
Pertama, ia harus memberitahukan tentang perbuatannya itu.
Kedua, ia tidak diharuskan memberitahukan tentang perbuatannya itu. Ia hanya cukup bertaubat dari apa yang telah dia lakukan, secara tersembunyi antara dirinya dan Allah. Kemudian dia menyebutkan orang yang dia ghibahi atau orang yang dia tuduh dengan kebalikan dari apa yang pernah ia sebutkan, di tempat dia melakukan ghibah. Yaitu dengan memujinya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dan untuk tuduhan palsu telah berbuat zina yang ia lontarkan, diganti dengan menyebutkan bahwa orang tersebut tidak berbuat zina dan jauh dari perbuatan hina ini. Lalu ia memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang tersebut sebesar perbuatan ghibah yang telah ia lakukan.

Kemudian Ibnul Qayyim berkata: “Dan pendapat kedua inilah yang dipilih oleh guru kami Abul Abbas Ibnu Taimiyah, semoga Allah mensucikan ruhnya. Para pemegang pendapat ini berargumen bahwa memberitahukan ghibah atau tuduhan berzina kepada orang yang menjadi korban hanya akan menimbulkan mudharat. Tidak sedikitpun mengandung maslahat. Orang yang menjadi korban itu hanya akan semakin merasa sakit, terlihat bodoh dan menjadi sedih. Padahal tadinya ia tenang-tenang saja karena tidak mendengar apa-apa. Kalau saja ia mendengar tentang ghibah dan tuduhan tersebut, kemungkinan ia tidak akan kuat menanggungnya, dan menyebabkan mudharat pada kondisi jiwa atau tubuhnya.” Sampai akhir perkataan beliau. Lihat kitab Madarijus Salikin (290-291/1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar